Senin, 08 September 2008

PENCANANGAN PEMUDA SIAGA PEDULI KESEHATAN



Dalam bidang kesehatan, pemuda mempunyai fungsi yang sangat strategis dan memainkan peranan ganda yaitu, sebagai pemuda siaga yang siap dipanggil secara on cal untuk menangani masalah dan dapat berkonstribusi menangani masalah kesehatan diwilayah masing-masing di bawah koordinasi Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Ini dikemukakan Menteri Kesehatan DR. Siti Fadilah Supari, SpJP (K) saat Pencanangan Pemuda Siaga Peduli Kesehatan yang dihadiri 4.000 peserta di Jakarta beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut Menkes menegaskan, tercatat 70 organisasi kepemudaan turut berpartisipasi dan ikut serta dalam kegiatan ini yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Siti Fadillah menganggap peran pemuda sangat strategis, karena lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah kaum muda. Selain sebagai generasi penerus yang akan memegang estafet kepemimpinan bangsa Indonesia, kaum muda yang ada pada usia produktif ini juga memiliki semangat yang besar untuk senantiasa melakukan perbaikan.

Oleh karena itu sudah sewajarnya kaum muda selalu diajak dan dilibatkan dalam menyelesaikan masalah kesehatan bangsa ini. Selain itu pemuda juga memiliki komitmen tinggi dan peduli terhadap masalah kesehatan masyarakat Indonesia. “Untuk menjadi sehat tidak cukup dilakukan lewat menjaga kesehatan diri sendiri saja, tetapi harus melibatkan berbagai pihak, multi sector dan multi disiplin. Penyakit menular seperti flu burung dan HIV/AIDS serta penyakit tidak menular seperti stroke, diabetes Mellitus dan kecanduan narkoba, keduanya berhubungan dengan cara Mandiri untuk Hidup Sehat”, sangatlah relevan kepedulian pemuda dalam mengatasi permasalahan kesehatan bangsa ini dengan cara membantu dan peduli dalam mewujudkan Desa Siaga. Kaum muda merupakan potensi sumberdaya manusia (SDM) strategis yang dapat menggerakan dan memberdayakan masyarakat dalam berbagai upaya kesehatan yang bentuknya dapat dilakukan secara kemitraan dengan prinsip kesetaraan, keterbukaan dan saling memperoleh manfaat.

“Pemuda perlu didorong untuk menggerakan dan memimpin masyarakat sekitarnya. Pemuda dapat berperan sebagai motivator, komunikator, penggerakk masyarakat, pelopor pembangunan kesehatan serta pelaksanaan kegiatan yang bersumber dari masyarakat maupun yang bersifat keterampilan produktif bagi kaum muda sendiri”, kata Menkes.

Peran-peran ini perlu dikomunikasikan kepada masyarakat luas, untuk menjaga kesinambungan peran dan konstribusi kaum muda dalam pembangunan kesehatan, maka perlu terus dibina dan dikembangkan secara bersama-sama dengan Depkes dan Pemangku kepentingan (Stakeholders).

UNICEF RESEARCH IN MEMORYAL

Gempa yang melanda Provinsi DIY dan Kabupaten Klaten memberikan dampak pada segala bidang terutama kesehatan khususnya penurunan kualitas pemberian air susu ibu. Untuk menanggulangi hal tersebut maka UNICEF mengadakan berbagai program sehingga terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Namun peningkatan tersebut perlu ditelaah dan diteliti lebih lanjut apakah memang hasil program yang dilakukan UNICEF ataukah meningkat secara alamiah. Untuk menjawab hal tersebut UNICEF mengadakan penelitian lebih lanjut di Kabupaten Klaten bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Dinas Kesehatan Kabupaten Klaten dan Remaja Peduli Kesehatan Sekolah (RISALAH). (Kiri) adalah Ibu Ninik Sukotjo SPesialis Nutrition dari UNICEF Jakarta dan (kanan) Pak Ketua RISALAH Sdr Arief Darmawan.





























JAMBORE UKS NASIONAL 2007



STRUKTUR ORGANISASI TIM PEMBINA UKS







TENTANG BU MENKES {Siti Fadilah Supari}

Riwayat Hidup

Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) (lahir di Solo, 6 November 1949) adalah Menteri Kesehatan Indonesia dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebelumnya, ia dikenal sebagai periset spesialis penyakit jantung. Ia menikah dengan Muhamad Supari. Pada Maret 2007, ia menuding Askes tidak menyalurkan klaim rumah sakit sesuai dengan permintaan dalam rapat di Dewan Perwakilan Rakyat.

Pendidikan

Ia menerima gelar sarjana dari Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) pada tahun 1972. Pada 1987, ia menerima gelar master (S-2) untuk penyakit jantung dan pembuluh darah dari Universitas Indonesia pada 1987. Pada 1996, ia menerima gelar doktor (S-3) dari Universitas Indonesia.

Kursus

Pada 1993, ia kursus Kardiologi Molekuler di Heart House Washington DC, Maryland (Amerika Serikat) dan kursus Epidemologi di Fakultas Universitas Indonesia (1997). Pada 1998, ia kursus Preventive Cardiology di Goteborg (Swedia) dan peneliti di Bowman Grey Comparative Medicine (Universitas Wake Forest, Amerika Serikat).

Karir dan Organisasi

Ia tampil sebagai dosen tamu Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dosen tamu di Pasca Sarjana Jurusan Epidemiologi Universitas Indonesia dan pengajar Departemen Jantung dan Pembuluh Darah Pusat Jantung Nasional Harapan Kita/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ia tampil sebagai Kepala Unit Penelitian Yayasan Jantung Indonesia dan Kepala Pusat Penelitian Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Kemudian, pada 20 Oktober 2004, ia ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memimpin Departemen Kesehatan. Sebelum menjabat menteri, ia adalah anggota Komunitas Kardiologi dan bekerja di Yayasan Jantung Indonesia serta Ikatan Dokter Indonesia.

Penghargaan

Pada 1987, ia menerima The Best Investigator Award Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Best Young Investigator Award dalam Kongres Kardiologi di Manila, Filipina (1988). Ia menerima The Best Investigator Award Konferensi Ilmiah tentang Omega 3 di Texas Amerika Serikat (1994) dan Anthony Mason Award dari Universitas South Wales (1997). Ia juga menerima beberapa penghargaan dari Amerika dan Australia. Tak kurang dari 150 karya ilmiahnya telah diterbitkan dalam jurnal lokal, regional, dan internasional.

Perlawanan Bu Menkes

Oleh : Asro Kamal Rokan

Wajahnya serius membicarakan ketidakadilan negara-negara maju. Kalimat demi kalimat meluncur deras. Dr Siti Fadilah Supari, satu dari sedikit warga dunia yang keras membela hak-hak negara berkembang di tengah dominasi badan resmi dunia dan negara adikuasa. Ia melawan dan berhasil.

Majalah The Economist London menempatkan Siti Fadilah sebagai tokoh yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak penyakit pandemik. “Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi,” tulis The Economist (10 Agustus 2006).

Perlawanan Siti Fadilah dimulai ketika virus flu burung (Avian Influenza/AI) menelan korban di Indonesia pada 2005. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung. Ini tidak adil, negara-negara lemah yang terkena tidak memperoleh apa-apa. Untung saja ada bantuan dari India, Thailand, dan Australia.

Korban terus berjatuhan. Di saat itu pula, dengan alasan penentuan diagnosis, badan kesehatan dunia (WHO) melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hong Kong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Perintah itu diikuti Siti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium Litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hong Kong?

Siti Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat seed virus. Dari seed virus inilah dibuat vaksin. Ironisnya, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin, tanpa kompensasi.

Siti Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.

Di saat keraguan atas WHO, Siti Fadilah membaca di The Straits Times Singapura, 27 Mei 2006, bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Siti Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya. Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi.

Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara. Ia juga terus melawan: tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Siti Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di Jenewa November lalu, sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

Prof Siti Fadilah anak bangsa yang melakukan perlawanan atas ketidakadilan. Bangsa ini memerlukan banyak orang seperti Siti Fadilah, yang berjuang untuk keadilan, kadaulatan, dan kesetaraan. Ia inspirasi untuk bangsa yang bangkit.


Menteri Kesehatan yang Berani

Kartono Mohamad

Pada tahun 1905, armada Jepang mengalahkan armada Rusia di perairan Sakhalin. Kemenangan ini berpengaruh besar terhadap kebangkitan bangsa Asia yang selama berabad-abad ditindas bangsa Eropa dan Amerika Serikat.

Tahun 1908, sekelompok dokter Indonesia lulusan STOVIA membentuk perkumpulan Boedi Oetomo yang kemudian menjadi gerakan politik menghadapi Belanda. Tahun itu kemudian dikenal sebagai awal kebangkitan bangsa Indonesia.

Tahun 2005 Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mulai membangkang terhadap aturan WHO yang dianggap tidak adil bagi bangsa berkembang dalam soal penyerahan seed virus H5N1 strain Indonesia. Pada tahun 2008 perjuangan itu berakhir dengan kemenangan. Hegemoni AS dalam soal pervirusan terhadap negara-negara berkembang yang menjadi ”pemilik virus”, yang dilakukan melalui WHO selama 50 tahun, dapat dikalahkan Siti Fadilah Supari.

Percaya diri

Kesamaan dalam tahun-tahun itu mungkin hanya kebetulan, tetapi dampak dari kemenangan itu hampir sama. Timbul rasa percaya diri, bangsa Asia dapat mengalahkan kekuatan negara adidaya meski sebatas soal virus.

Kemenangan menteri kesehatan Indonesia itu disambut gembira oleh seluruh bangsa Indonesia, dan mungkin juga oleh bangsa-bangsa di negara berkembang. Terbukti dengan usulan perombakan prosedur sharing virus yang diajukan Indonesia disetujui sebagian besar anggota WHO, sementara usul AS hanya didukung AS sendiri.

Desas-desus kemudian berkembang. Pemerintah AS mengirim menterinya ke Indonesia untuk membujuk agar Menkes RI membatalkan usulannya di WHO, terutama mengenai penyerahan virus ke lembaga penelitian virus milik AS. Namun, menteri kita tetap pada sikapnya. ”Anda memang menguasai teknologinya, tetapi kami yang memiliki virusnya dan rakyat kami yang menjadi korban. Silakan tempelkan teknologi itu di jidat Anda, apakah ia dapat menghasilkan sesuatu tanpa virus dari Indonesia,” demikian kisah Siti Fadilah saat peluncuran bukunya.

Membangkitkan semangat

Seabad setelah bangsa Asia bangkit melawan kapitalisme bangsa-bangsa Eropa dan Amerika, Menkes kita berani membangkitkan semangat serupa dengan perlawanannya terhadap hegemoni kapitalis terbesar di dunia. Dan menang. Sikap AS yang mau memonopoli penelitian virus dan pembuatan vaksinnya, dengan mengambil bibit virus dari negara berkembang, tetapi kemudian menjual vaksin itu kembali ke negara berkembang dengan harga mahal, memang keterlaluan.

Negara itu ingin memperoleh bibit virus secara gratis, lalu mengeruk keuntungan besar dari negara tempat virus itu berasal. Ia ingin mengeruk keuntungan dari penderitaan rakyat di negara berkembang. Maka, masuk akal pertanyaan Siti Fadilah tentang kemungkinan virus itu dijadikan senjata biologi. Mungkin yang dimaksud Menkes bukan senjata biologi yang digunakan dalam perang konvensional, melainkan dimanfaatkan dalam situasi damai, kemudian menjual vaksin atau obatnya ke negara-negara itu. Bagian kecurigaan inilah yang kemudian menjadi isu politik antarnegara, berujung pada penarikan buku Fadilah edisi bahasa Inggris.

Rokok

Bagaimanapun juga, keberanian Menkes RI telah menghasilkan sesuatu yang baik bagi rakyat Indonesia dan negara berkembang lainnya. Yang kini kita harapkan adalah keberanian itu ia pertahankan secara konsisten, termasuk menghadapi kapitalis dalam negeri atau kapitalis luar negeri yang beroperasi di Indonesia, yang mengeruk keuntungan besar dengan mengorbankan kesehatan rakyat Indonesia. Antara lain menghadapi perilaku pembuat bahan adiktif yang membuat rakyat mengalami ketergantungan sehingga menghamburkan uangnya lebih untuk memenuhi ketergantungan itu ketimbang untuk membeli makanan bergizi bagi anaknya, atau membayar uang sekolah anaknya. Contoh industri bahan adiktif semacam itu adalah pabrik rokok.

Seperti penjajah dulu dan juga kapitalis AS, industri rokok pandai menyebarkan mitos yang membuat rakyat (dan pemerintah) ragu untuk bertindak. Di zaman perjuangan kemerdekaan dulu disebarkan mitos, bangsa Indonesia belum siap merdeka. Sikap AS dalam soal virus flu burung (dan mungkin juga hal-hal lain) juga serupa. Menyebarkan mitos bahwa negara berkembang tidak akan sanggup mengembangkan vaksin karena tidak memiliki teknologinya.

Di dalam negeri, industri rokok pun menyebarkan mitos, kalau pemasaran dan penjualan rokok diatur, negara akan kehilangan sejumlah besar penghasilan, banyak buruh akan menganggur dan petani tembakau akan kehilangan nafkah.

Padahal, di negara yang melakukan pengaturan penjualan rokok, termasuk AS yang menyerap keuntungan besar dari penjualan rokok di Indonesia, tidak ada industri rokok yang bangkrut. Bahkan, industri rokok AS merambah seluruh dunia, terutama Indonesia.

Pengaturan diperlukan untuk meminimalkan dampak buruk asap tembakau bagi kesehatan rakyat. Mitos bahwa negara mendapatkan pendapatan besar dari rokok juga perlu dibuktikan karena cukai rokok di Indonesia adalah yang terendah di Asia (kecuali barangkali Kampuchea).

Kapitalis dalam negeri

Namun, mitos-mitos itu sudah menyerap di pikiran elite politik di negara ini dan untuk melepaskannya diperlukan keberanian. Di sinilah diharapkan keberanian Siti Fadilah Supari sebagai Menteri Kesehatan untuk melawan kapitalis dalam negeri yang telah mengorbankan kesehatan rakyat Indonesia untuk keuntungan mereka. Kalau menghadapi menteri-menteri AS ia berani, seharusnya ia lebih berani menghadapi sesama menteri Indonesia yang sudah termakan mitos yang ditanamkan kapitalis dalam negeri.

Alangkah gagahnya jika ia berani berkata kepada menteri-menteri yang lain, ”Saya menteri kesehatan, bertanggung jawab terhadap kesehatan rakyat. Saya mengatur pemasaran dan penjualan rokok demi melindungi kesehatan rakyat Indonesia”. Barulah ia benar-benar pejuang konsisten untuk kepentingan rakyatnya.

Kartono Mohamad Tobacco Control Support Center; Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

Siti Fadilah Supari Berhenti Makan Nasi

Jakarta (ANTARA News) - Sejak sebulan lalu Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan (Menkes), berhenti mengonsumsi nasi, kemudian menggantinya dengan sayur dan buah untuk menurunkan berat badannya.

"Sekarang berat badan saya sudah turun lima kilogram," Siti Fadilah Supari, di Jakarta, Senin.

Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang dikaruniai tiga anak itu juga tampak puas dengan hasil diet ketat yang dilakukannya.

"Dulu baju ini tidak muat, tapi sekarang sudah bisa saya pakai lagi," katanya sambil menunjukkan baju berwarna merah berpernak-pernik bebatuan kecil warna merah pula yang dikenakannnya berpadu dengan kain batik berwarna coklat.

"Hanya saja, karena lebih kurus pipi, saya jadi agak hitam," kata wanita yang lahir di Solo, Jawa Tengah, pada 6 November 1950, dan menjadi pendamping hidup Ir Muhammad Supari itu seraya tersenyum. (*)

Buku Ibu Menkes

imageMenteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS).Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata

biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).

Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. (watch the US crime on WWII )

Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It’s Time for the World to Change.

Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung.

“Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita,” ujar Fadilah kepada Persda Network di Jakarta, Kamis (21/2).

Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi.

Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.

“Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon. Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menidas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya,” ujarnya.

Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku.

“Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar,” katanya.

Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua.

“Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan.

Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush,” ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.

Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran.

“Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual,” katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.

Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.

Mengubah Kebijakan

Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun.

Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005.

Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.

“Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi,” tulis The Economist.

The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam.

Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.

Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen.

Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?

Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus.

Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusahaan besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung.

Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.

Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak.

Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.

Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC.

Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS.

Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui.

Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu.

Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya.

Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon.

Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.

Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia.

Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan. (tribun-timur)


Buku Menkes Siti Fadilah Akan Difilmkan

Cetak halaman ini

BU Menkes Siti Fadilah Supari yang bertajuk Saatnya Dunia Berubah akan difilmkan. Mungkin Amerika akan gerah lagi!

Buku Menkes Siti Fadilah Supari berjudul “Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung”, akan segera difilmkan. Kabarnya, akan menelan biaya sebesar Rp. 10 milyar.

"Rencananya Rp10 miliar. Untuk pembuatan sebuah film, angka ini termasuk sedang," kata penggagas film Shohibul Faroji dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (29/5).

Film ini akan digarap dalam waktu setahun. Sehingga diperkIraqan pada Mei 2009 sudah bisa dinikmati masyarakat.

"Momennya kan Harkitnas, lalu Juni ada Kesaktian Pancasila, dan Agustus ada HUT kemerdekaan," jelas pria yang juga dosen Universitas Paramadina dan Institut Ilmu Al Qur'an (IIQ) Jakarta ini.

"Sekarang kami sedang riset. Karena film ini butuh riset juga, kami akan soroti juga masalah flu burung, BBM, Namru," tutur pria kelahiran Banyuwangi 13 Juni 1977.

Film semi dokumenter ini akan membuat soundtrack dengan melibatkan penyanyi terkenal seperti Ahmad Dani, Melly Goeslow, dan grup musik Ungu.

Bikin Gerah

Sebagaimana diketahui, buku Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari berjudul “Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung” telah bikin gerah World Health Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS).

Dalam buku itu, Fadilah menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian influenza (H5N1).

Menurutnya, setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia.

Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change.

Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung.

"Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita," ujar Fadilah kepada wartawan bulan Pebruari lalu. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Tegas dan Pekerja Keras


Mantan Kepala Pendataan dan Penelitian (Pusdalit) RS Jantung Harapan Kita, ini menyatakan kaget dan sempat shock saat diundang lewat telepon oleh utusan Presiden Yudhoyono, untuk berdialog dengan presiden, Rabu malam 20 Oktober 2004, beberapa jam sebelum pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu. Dia diangkat menjabat Menteri Kesehatan (Menkes) RI.

Lulusan S-3, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), Jakarta, 1996, ini dikenal seorang perempuan yang tegas dan pekerja keras. Pantas saja dia diangkat Presiden SBY memimpin Departemen Kesehatan. Karena, menurut penuturan Siti Fadilah, Presiden kepingin orang yang 'galak' memimpin departemen pelayanan publik ini.

Dia satu dari empat perempuan yang menjabat menteri dalam Kabinet Yudhoyono-Kalla yakni Dr. dr. Siti Fadillah Supari sendiri sebagai Menteri Kesehatan, Dr. Marie Elka Pangestu sebagai Menteri Perdagangan, Dr. Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Dr. Meutia Hatta Swasono sebagai Menteri Pemberdaan Perempuan.

Sebelum menjabat menteri, Siti Fadillah telah mengabdi selama 25 tahun di RS Jatung Harapan Kita. Ia sama-sekali tidak menyangka akan memimpin Departemen Kesehatan.
"Saya kaget dan sempat shock. Saya tidak menyangka akan dihubungi, apalagi menjadi seorang menteri," katanya berulang kali. "Saya diminta menjadi Menteri Kesehatan. Ini hal yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Jadi saya sangat kaget," ujarnya.

Selepas Maghrib, Siti masih berada di tempat kerjanya, dihubungi melalui ponselnya oleh seseorang untuk menghadap SBY. Didampingi seorang rekan sekerjanya, sekitar pukul 20.00 Wib, kemudian ia menuju Istana untuk memenuhi panggilan tersebut. Namun dia tidak menyebut siapa yang meneleponnya. Dia juga tidak tahu siapa atau Parpol mana yang merekomendasikannya. “Saya juga tidak tahu. Saya hanya ditelepon. Saya profesional saja," katanya.

Ahli jantung dan pembuluh darah di RS Jantung Harapan Kita Jakarta ini merasakan bagaimana jantungnya berdenyut lebih cepat dari biasanya ketika menerima panggilan telepon yang masuk ke telepon selulernya dari seseorang. Penelepon itu tak memberikan identitasnya tapi mengatakan agar Fadilah menghadap SBY, presiden yang baru dilantik pada Rabu paginya.

Wanita kelahiran Solo, 6 November 1949 berada di Istana Merdeka sampai berjam-jam, dan baru pulang ke rumah sekitar pukul 23.30. Padahal saat itu rumahnya sudah dipenuhi banyak orang. Tentu saja ia lebih kaget lagi. Beberapa menit kemudian namanya diumumkan sebagai Menkes.

Setelah itu, ibu dari tiga orang anak ini, mengaku tak bisa tidur. Sementara pagi-pagi dia harus siap pergi ke istana untuk dilantik. Sehingga sampai Kamis sorenya, dia belum tidur. Istri Ir Muhamad Supari ini sampai detik-detik serah terima, mengaku di benaknya, banyak pertanyaan yang muncul. ''Kok, kenapa saya. Saya kan perempuan. Biasanya jabatan ini dipegang laki-laki. Tapi, saya dapat jawaban. Kata Presiden, ia kepingin orang yang galak. Lalu, saya kepikiran, apa saya ini orang yang galak, ya?'' Sambil tertawa, ia mengakui bahwa dirinya tidak galak. kalau ceriwis itu memang benar. ''Tapi, saya ini ceriwis yang baik, kok.''

Namun yang jelas dia sudah 25 tahun bekerja professional di bidang kedokteran dan bidang penelitian. Untuk menjalankan tugas-tugas yang diembannya sebagai Menkes, dia mengatakan sangat membutuhkan bantuan dari rekan-rekannya yang lebih senior. ''Saya ini dokter ahli jantung. Saya bukan orang manajemen. Saya orang baru yang terjun di 'hutan belantara' ini. Jadi, saya memohon bantuan bapak-bapak untuk membantu saya dan memberikan masukan kepada saya,'' tutur pakar Farmakologi Kapuslitbang Badan POM ini.

Ia mengungkapkan, Presiden SBY memberikan pengarahan agar ia membina Depkes supaya bersih, disiplin, dan bekerja keras. ''Ini nggak gampang loh. Saya pikir, apa saya bisa, ya? Tapi, saya ini orang yang optimistis. Optimistis bahwa bapak-bapak bisa membantu saya,'' katanya di hadapan sejumlah mantan Menkes sebelumnya, seperti Dr Achmad Sujudi, Prof Dr Farid A Moeloek, dan Prof Dr Sujudi saat serah terima jabatan menkes dari Achmad Sujudi.

Anggota Koordinator Penelitian Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FKUI, ini juga mengungkapkan bahwa SBY menyoroti Departemen Kesehatan sebagai institusi penting. "Presiden sampai meminta tiap menteri untuk menandatangani surat komitmen," katanya. SBY juga mengajak dirinya untuk sering turun ke Puskesmas.


Tertibkan Rumah Sakit
Saat serah terima jabatan Menkes dari Achmad Sujudi di Jakarta, 21 Oktober 2004, Fadilah Supari mengatakan salah satu program yang segera akan dilaksanakan adalah mengupayakan pemerataan kesehatan untuk memudahkan akses masyarakat miskin ke pelayanan kesehatan. Menurutnya, masih banyak rakyat yang tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan.

Dia juga menilai ada kecenderungan rumah sakit lebih mengarah ke komersial. Padahal harus diingat bahwa rumah sakit juga memiliki fungsi sosial dan tidak bisa hanya mengambil keuntungan saja. Dia bilang, sekian persen dari pendapatan rumah sakit harus disediakan untuk pelayanan sosial bagi masyarakat tidak mampu sesuai dengan peraturan yang ada.

Karena itu, Fadilah Supari berjanji akan menertibkan rumah sakit, termasuk mengenai pengaturan tarif, agar pelayanan kesehatan tidak hanya menjadi komoditas komersial, melainkan mempunyai misi sosial juga. Selain itu, menurutnya, hal mendesak yang harus segera dilakukan adalah aplikasi UU Praktek Kedokteran yang antara lain untuk mengatasi dugaan malpraktek.

Pada acara serah terima jabatan itu juga diputar film kaleidoskop Departemen Kesehatan tahun 1999-2004. Mantan Menkes dr Achmad Sujudi juga menyerahkan 32 buku yang menguraikan berbagai kegiatan, kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dihasilkan serta memori jabatan yang diharapkan akan menjadi acuan kebijakan pembangunan kesehatan di masa mendatang.


Menteri Pertahaan AS Bantah

Minta Buku Bu Menkes Ditarik

Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates membantah adanya tawaran bantuan perlengkapan militer kepada TNI jika buku yang ditulis Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari ditarik dari peredaran.

“Tidak benar Amerika Serikat menawarkan perlengkapan militer agar buku ditarik dari peredaran,” kata Gates dalam konferensi pers usai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di kantor presiden, Senin (25/2).

Ia juga menegaskan tidak membicarakan masalah buku tersebut dengan Presiden Yudhoyono.

Pada 6 Februari lalu Siti menerbitkan buku berjudul, “Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di alik Virus Flu Burung”. Dalam buku ini ia antara lain menuding Amerika dan WHO berkonspirasi memanfaatkan virus flu burung untuk
mengembangkan senjata biologis.

Dalam kesempatan berbeda, Juwono menjelaskan masalah ini ditangani oleh Siti dan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. “Itu masalahnya dengan WHO PBB,” kata Juwono.

(Tempointeraktif.Com)

Saatnya Dunia Berubah

”Ada 2 orang sinting di dunia ini. Pertama, Ahmadinejad. Dan kedua, Siti Fadilah Supari.”

Itulah komentar sebuah blog di Afrika atas launching buku Menteri Kesehatan DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K) berjudul ”Saatnya Dunia Berubah: Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung”.

Dilaunching pada Minggu, 6 Januari 2008 di Jakarta, buku ini membuat banyak pihak kebakaran jenggot. Betapa tidak? Dalam bukunya ini Menkes membuka kedok World Health Organization (WHO) yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang ternyata banyak merugikan negara miskin dan berkembang asal virus tersebut.

Siti mencium ketidakberesan antara GISN, WHO, dan dan produsen vaksin. “Siapakah yang memperdagangkan virus seasonal flu?” tanya Siti. Hampir sepanjang 40 halaman lebih, Siti menceritakan ketidakadilan WHO yang ditentang Indonesia. Sebagai lembaga PBB, WHO seharusnya netral, tidak menjadi kaki tangan para produsen vaksin yang bisa mendapatkan sampel virus yang dikirim secara sukarela melalui GISN.

“Buku ini berusaha memaparkan temuan dan perjuangan seorang perempuan Indonesia melawan ketidakadilan yang muncul dari kapitalisme global dan berakibat buruk bagi dunia kesehatan di negerinya. Kami yang selama ini bersama semua manusia merindukan dan mengupayakan perdamaian, menghargai perjuangan ini. Perdamaian sejati terwujud bila ada keadilan…” komentar Uskup Agung Jakarta Kardinal Julius Darmaatmadja di halaman belakang buku. (Review dari berbagai sumber)



Penulis: DR. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K)
Penerbit: PT. Sulaksana Watinsa Indonesia
Edisi Pertama: 2007
Tebal: xii +204 hal

Bu Menkes Kecipratan Popularitas Ahmadinejad?

Beberapa hari lalu go-blog pernah menurunkan posting ‘Bagger Duetkan Fadilah Supari dengan Ahmadinerjad”. Kini berita yang sama juga muncul Sabtu 15 Maret 2008.

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengaku tidak takut dan gentar dengan segala ancaman dan tekanan dunia barat terkait isi bukunya “Saatnya Dunia Beubah: Tangan Tuhan Dibalik Virus Flu Burung” yang menjadi kontroversi di dunia.

“Saya dibilang manusia nomor dua paling kejam dan brengsek setelah Ahmadinejad,” kata Siti saat bedah buku dan penandatanganan bukunya di Plaza Senayan, Jakarta Selatan, Sabtu (15/3/2009).

Diketahui, buku perdana yang ditulisnya itu menjadi pembicaraan dunia kata orang barat ditulis bahwa sampel virus flu burung dari Indonesia dijadikan senjata biologis oleh Pemerintah Amerika Serikat dan organisasi kesehatan WHO.

“Padahal mereka belum baca bukunya. Sebenarnya bukan begitu maksudnya. Hanya otaknya saja yang menuduh seperti itu,” tuturnya.

Menurut Siti, apabila semua orang sudah membaca keseluruhan isi bukunya tersebut, pasti akan sayang padanya. “Presiden Bush juga pasti akan sayang sama saya,” ujarnya.

Ahli jantung ini mengatakan hanya ingin menginformasikan kenyataan saja yang terjadi di masyarakat. “Buku saya ini bukan fiksi atau imajinasi saya, tetapi seperti buku harian hidup saya,” tegasnya.

Namun, Siti merasa ada hikmah di balik semua kejadian yang menimpanya belakangan ini. “Mungkin kalau ingin jadi tokoh atau selebritis harus begitu. Siap dipuja dan dibenci,” imbuhnya penuh canda.

Bu Menteri, biarkan saja tudingan itu. Toh, Anda disandingkan dengan tokoh paling populer di dunia, Ahamdinejad yang dikenal berani dan berani mati demi rakyat dan ideologinya. Selamat!!!


Bu Menkes Menghancurkan Lingkaran Setan Dunia

Senyumnya ramah. Bicaranya lembut. Namun, jangan kaget kalau ia bisa berapi-api ketika berbicara mengenai kesewenang-wenangan dan penindasan negara kaya, lembaga internasional, serta kapitalis vaksin terhadap negara miskin. Dialah DR.Dr.Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), Menteri Kesehatan RI, yang kini sedang menjadi sorotan dunia karena gebrakannya dalam melawan dominasi WHO (World Health Organization) dan Barat (Amerika Serikat).

Ceritanya bermula dari paksaan WHO terhadap Indonesia agar mengirimkan virus flu burung H5N1 strain Indonesia yang melanda negeri ini dua tahun lalu ke WHO Collaborating Center (CC) untuk dilakukan risk assesement, diagnosis, dan kemudian dibuatkan seed virus. Entah bagaimana caranya, virus asal Indonesia itu berpindah tangan ke Medimmune dan diolah menjadi seed virus. Hebatnya, seed virus ini diakui sebagai miliknya karena diolah dengan teknologi yang sudah mereka patenkan. Indonesia, yang memiliki virusnya tidak punya hak apa-apa. Padahal, dengan seed virus inilah perusahaan swasta itu membuat vaksin yang dijual ke seluruh dunia dengan harga mahal.

Saatnya Dunia Berubah - Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.Bagi Siti Fadilah, hal ini aneh. Yang memiliki teknologi mendapatkan hak amat banyak. Sebaliknya, yang memiliki virus tidak dapat apa-apa. “Sehebat apapun teknologi Medimmune, jika ditempelkan di jidatnya kan tidak akan menghasilkan seed virus H5N1 strain Indonesia,” kata lulusan kedokteran Universitas Gadjah Mada yang juga lulus program doktor di Universitas Indonesia itu dalam bukunya yang berjudul Saatnya Dunia Berubah - Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung.

Apa yang terjadi di Indonesia ternyata juga dialami negara miskin lain. Negara yang terjangkit penyakit, dipaksa mengirimkan virusnya ke WHO CC melalui skema GISN (Global Influenza Surveilance Network). Namun bukannya dimanfaatkan untuk kesehatan seluruh dunia, virus itu malah disalahgunakan oleh negara kaya untuk membuat komoditas dagang, antara lain dalam bentuk vaksin. Bahkan ada kemungkinan dijadikan senjata biologis. Celakanya, negara miskin sering kesulitan mendapatkan vaksin tersebut karena sudah diborong negara lain yang belum terkena virus tersebut untuk pencegahan.

Kalau posisinya seperti itu, Siti Fadilah berpraduga, negara kaya akan berusaha menciptakan virus baru untuk dilemparkan ke negara miskin. Kemudian negara miskin mengirim virus baru tersebut ke WHO. Dan selanjutnya WHO akan mengirim virus ke negara kaya untuk dibuatkan vaksinnya. Dus, negara kaya pun memiliki komoditas dagang virus baru.

“Siklus itu akan berputar seumur hidup,” kata spesialis jantung dan pembuluh darah ini. Negara miskin akan sakit terus, sakit dan sakit. Siklus yang tak berujung ini bak lingkaran setan. Celakanya, ketika negara miskin makin terpuruk gara-gara virus, negara kaya datang bak dewa penolong dengan memberikan sumbangan yang tidak seberapa dibanding keuntungan mereka dari berdagang vaksin.

Siti Fadilah melihat ketidakadilan itu — yang ternyata sudah berlangsung selama 60 (enam puluh) tahun dilakukan oleh WHO. Tergeraklah nuraninya. Ia sadar, dirinya hanyalah seorang Menteri Kesehatan dari negara bukan super power. Namun, ia berpikir dan bergerak cepat. Nalurinya mengatakan, kalau bahwa pemaksaan pengiriman virus ke WHO adalah salah satu kunci lingkaran setan. Maka kalau ia enggan mengirimkan virus itu, dunia akan bereaksi. Intuisinya benar. Dunia bereaksi. Negara barat — terutama pemerintah dari negara penghasil vaksin — geger. Mereka takut virus tersebut menyebar ke seluruh dunia dan terjadi pandemi.

Siti Fadilah Supari

inilah perang Siti Fadilah terhadap penindasan WHO dan negara kaya dimulai. Ia membuka borok WHO dalam mengelola lalulintas virus dunia. Perang ini amat menggetarkan, seru dan melelahkan. Maklum, yang dilawan adalah lembaga dunia yang didukung penuh oleh negara kaya dan berkuasa, yang bisa berbuat apa saja. Pertempuran itu tergambar begitu bagus di bukunya. Saya terpukau membaca halaman per halaman. Saya tak mau berhenti sejenak pun. Terbayang betapa gigihnya Siti Fadilah dan timnya berjuang di kancah internasional. Pengagum Bung Karno ini tak mengenal kata mundur. Ia tanpa lelah melobi negara-negara lain untuk mendukungnya. Setiap anak buahnya mengabarkan bahwa posisinya terjepit di tengah negosiasi dan kemungkinan besar kalah, ia selalu mengatakan: tidak ada kompromi. Aturan pengiriman virus ke WHO yang tidak transparan harus dihapus.

Perjuangannya berhasil. Ia mampu memaksa WHO berubah. Ia berhasil menghancurkan lingkaran setan pervaksinan dunia. Kini aturan mainnya lebih adil, transparan dan setara.

Adil artinya negara miskin yang mendapat penyakit flu burung mendapatkan hak atas virus yang dimilikinya. Jika virus itu dibuat vaksin, maka negara korban akan mendapat haknya atas vaksin sesuai aturan.

Transparan artinya negara yang menderita maupun negara lain mengetahui pasti kemana virus itu perginya, diapakan oleh siapa, dan yakin bahwa virus itu tidak digunakan untik senjata biologis.

Setara artinya antara pengirim virus dan pembuat vaksin setara, selevel.

Tak terasa, buku setebal 200 halaman yang diluncurkan 6 Januari 2008 lalu itu saya khatamkan dalam tempo empat jam.

Dari sinilah saya mulai bangga memiliki seorang menteri bernama Siti Fadilah. Ia bukan hanya menteri. Ia juga ilmuwan yang sudah menghasilkan 150-an karya ilmiah dan meraih berbagai penghargaan (antara lain: Best Young Investigator Award pada Kongres Kardiologi di Manila, Filipina, 1998. T. Best Young Investigator Award pada Konferensi Ilmiah tentang “Omega 3″ di Texas, Amerika Serikat, 1994. Serta Antony Mason Award dari University New South Wales, Sidney, Australia).

Namun, lebih dari itu, dalam kasus melawan WHO dan AS, ia menujukkan diri sebagai seorang negosiator tangguh dan “diplomat” ulung yang mengangkat harkat bangsa Indonesia di kancah dunia.

Jangankan saya, pihak luar pun sangat bangga dengannya. Dengarlah apa kata majalah top dunia seperti The Economist (6 Agustus 2006):

For the sake of basic human interest, the Indonesian government declares that genomic data on bird flu viruses can be accessed by anyone. With those words, spoken on August 3rd (2006), Siti Fadilah Sapari started a revolution that could yet save the world from the ravages of pandemic disease. That is because Indonesia’s health minister has chosen a weapon that may prove more useful than todays best vaccines in tackling such emerging threats as avian flu: transparency.

Siti Fadilah Supari & Nukman Luthfie

Namun puteri Solo kelahiran 6 Nopember ini sadar, perjuangan belum selesai. “Saya sedang membuat buku kedua,” katanya kepada saya setelah acara talkshow di SmartFM Jakarta Jumat lalu (2 Mei 2008).









Bu Menkes Menulis Buku

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung

Pada tanggal 6 Januari 2008, Siti Fadilah merilis buku Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung yang berisi mengenai konspirasi Amerika Serikat dan WHO dalam mengembangkan "senjata biologis" dengan menggunakan virus flu burung. Bukunya dianggap membongkar konspirasi WHO dan AS[2] Siti Fadilah "membuka kedok" World Health Organization (WHO) yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang ternyata banyak merugikan negara miskin dan berkembang asal virus tersebut.[3] Buku ini menuai protes dari petinggi-petinggi WHO dan AS. Buku edisi Bahasa Inggris ditarik dari peredaran untuk dilakukan revisi,[4] sedangkan buku edisi Bahasa Indonesia masih beredar dan memasuki cetakan ke-4.

Berikut adalah sebagian kutipan dari apa yang tertulis di buku tersebut.

Namun ironisnya pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri, negara maju, negara kaya yang tidak mempunyai kasus flu burung pada manusia. Dan kemudian vaksin itu dijual ke seluruh dunia juga akan dijual ke negara kita. Tetapi tanpa sepengetahuan apalagi kompensasi untuk si pengirim virus, yaitu saudara kita yang ada di Vietnam.

Mengapa begini? Jiwa kedaulatan saya terusik. Seolah saya melihat ke belakang, ada bayang-bayang penjajah dengan semena-mena merampas padi yang menguning, karena kita hanya bisa menumbuk padi menggunakan lesung, sedangkan sang penjajah punya mesin sleyp padi yang modern. Seolah saya melihat penjajah menyedot minyak bumi di Tanah Air kita seenaknya, karena kita tidak menguasai teknologi dan tidak memiliki uang untuk mengolahnya. Inikah yang disebut neo-kolonialisme yang diramal oleh Bung Karno 50 tahun yang lalu? Ketidak-berdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain? Demikian jugakah pengiriman virus influenza di WHO yang sudah berlangsung selama 50 tahun, dengan dalih oleh karena adanya GISN (Global Influenza Surveillance Network). Saya tidak mengerti siapa yang mendirikan GISN yang sangat berkuasa tersebut sehingga negara-negara penderita Flu Burung tampak tidak berdaya menjalani ketentuan yang digariskan oleh WHO melalui GISN dan harus patuh meskipun ada ketidak-adilan?

Buku ini direncanakan akan difilmkan dan akan menelan biaya sebesar 10 milyar.[5] Film tersebut diperkirakan akan selesai pada Mei 2009.